Mengatasi Kesulitan dan Ketidakberdayaan

Tidak semua orang mampu dalam menghadapi berbagai masalah ataupun kesulitan dalam hidup. Sikap ketidakberdayaan sering kali dapat mempengaruhi seseorang untuk mengambil keputusan serta mengatasi kesulitan yang muncul. Menurut Paul G. Stoltz dalam bukunya Adversity Quotienty (AQ) menggolongkan sikap menghadapi kesulitan menjadi 3 macam. Mereka yang menganggap bahwa kesulitan itu bersifat menetap yang muncul dari diri sendiri (internal) dapat menyebabkan kegagalan dalam segala hal dan cenderung menderita di semua bidang kehidupan, sedangkan mereka yang menanggapi situasi-situasi sulit sebagai sesuatu yang eksternal (berasal dari) luar, menganggap kesulitan itu tidak akan terjadi selamanya, seorang yang demikian akan menikmati banyak manfaat, mulai dari kinerja sampai kesehatan.
Sikap AQ merupakan sikap menginternalisasi keyakinan yang harus ditumbuhkan dan dikembangkan melalui tahap-tahap proses untuk menumbuhkan sikap keyakinan serta berusaha memupuskan apa yang anda kerjakan tidak bermanfaat. Sebelum dikenal konsep AQ telah berkembang konsep Intelegent Quotieny (IQ) dan Emotional Quotienty (EQ). IQ merupakan kecerdasan yang terukur dan dipengaruhi oleh faktor keturunan, sedangkan EQ adalah cerminan kemampuan seseorang untuk memiliki sikap dan sifat berempati kepada orang lain, sosial dan peduli dalam mengendalikan dorongan hati, sadar diri, bertahan dan bergaul secara efektif dengan orang lain. Konsep AQ sendiri mempunyai arti suatu sikap atau kecerdasan menghadapi kesulitan atau hambatan. Inti dari konsep AQ menemukan apa yang sebenarnya membuat seseorang bisa bertahan dalam berbagai kesulitan hidup dan tantangan yang dialami.
Dicontohkan bagi mereka yang memilki tingkat AQ yang tinggi, beranggapan suatu kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda dan dengan sadar diri berusaha untuk tidak mengulangi kegagalan itu dan terus belajar dari pengalaman tersebut untuk menambah wawasan, konflik dengan seseorang yang dikasihi adalah kesalah pahaman bukan hancurnya hubungan. Sebaliknya mereka yang memiliki AQ yang rendah menganggap kegagalan akan selamanya terus terjadi dan menumbuhkan ketidakberdayaan untuk mengatasi kesulitan.
Perlunya membangkitkan dan mengembangkan sifat AQ dalam sikap seperti seorang “Pendaki” pantang menyerah sebelum sampai di puncak gunung yang tinggi. Dalam pengertian luas perumpaman seorang pendaki dapat digambarkan menggerakkan tujuan hidup seseorang ke depan, apapun tujuan itu, seperti: mendapatkan nilai yang tinggi dan bagus bagi seorang pelajar, mendapatkan pangsa pasar yang prospek bagi seorang pebisnis, memperbaiki hubungan relasi bagi seorang pengusaha, menjadi lebih mahir bagi seorang ahli dibidang apapun, menyelesaikan satu tahap pendidikan, membesarkan anak menjadi seorang bintang, mendekatkan diri kepada Tuhan atau memberikan kontribusi yang berarti bagi kehidupan.
Berikut ini 3 kelompok yang digolongkan Paul G. Stoltz yaitu kelompok Quitters, Campers, dan Climbers. Pada kelompok Quitters memiliki sikap yang amat negatif mereka menolak kesempatan, mengabaikan, menutupi atau meninggalkan dorongan inti manusiawi. Golongan ini menjadi memiliki sifat yang mudah putus asa, sinis dalam pandangan hidup, pemurung, dan mati perasaannya, pemarah dan frustasi, menyalahkan semua orang yang ada disekitarnya dan membenci orang yang berpotensi untuk maju dan berkembang. Dalam bekerja kelompok ini sekedar untuk hidup, memperlihatkan sedikit ambisi, semangat yang minim. Mutu di bawah standar, mengambil resiko sedikit mungkin, tidak kreatif kecuali saat menghindari tantangan yang besar.
Kelompok kedua adalah Campers, kelompok ini tidak mempergunakan seluruh kemampuannya untuk menggali potensi diri. Mereka hanya mempergunakan kemampuannya setengahnya saja, hanya mengerjakan agar dia tetap dipekerjakan saja. Golongan ini dalam bekerja tidak terlalu ambisius namun diatas standar jadi kelompok ini berada di tengah- tengah dan bisa mengendalikan diri dalam menghadapi kesulitan dan ketidakberdayaan.
Kelompok ketiga adalah Climbers, kelompok ini ingin membuktikan bahwa mereka mampu untuk selalu maju dan berkembang tanpa menghiraukan latar belakang, keuntungan, kerugian, nasib buruk atau nasib baik. Mereka adalah pemikir yang selalu memikirkan kemungkinan-kemungkinan, dan tidak pernah membiarkan umur, jenis kelamin, ras, cacat fisik, atau mental dan segala rintangan maupun hambatan lain menghalanginya. Untuk semua hal yang dikerjakan mereka memahami tujuan jangka panjang dan jangka pendek . Mereka membuat rencana-rencana dan tahap-tahapnya dengan matang dan cermat maka mereka merasakan kegembiraan sesungguhnya. Climbers tahu bahwa banyak imbalan datang dalam bentuk manfaat-manfaat jangka panjang, dan langkah-langkah kecil sekarang ini akan membawanya pada kemajuan-kemajuan lebih lanjut di kemudian hari. Mereka bisa memotivasi diri sendiri, memilki semangat tinggi, dan berjuang untuk mendapatkan yang terbaik, membaktikan diri pada pertumbuhan, belajar seumur hidup, perbaikan terus menerus, tidak berhenti pada gelar atau jabatan saja, tetapi terus belajar untuk dan tumbuh serta berkontribusi didalamnya.
Dengan pembagian kelompok-kelompok diatas dan dilengkapi dengan penjelasannya maka saatnya kita melihat menilai kita sendiri masuk kelompok yang mana apakah Quitters yang selalu berpikiran negatif, Campres yang tenang berada ditengah-tengah, atau Climbers yang selalu ingin maju dan berhasil itu semua kembali kepada kita yang menentukan dan mensikapinya dengan bijak.

Sumber: Bank dan Wirausaha
Oleh: H. Rahman Subagyo
(disarikan dari buku Adversity Quentity (AQ)
Oleh Paul G.Stoltz, Phd.
Tim SIM Dinas Pendidikan Propinsi DIY

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home